VIII. Prasangka, Diskriminasi, dan Etnosentrisme
Mahalnya biaya pendidikan merupakan salah satu
penyebab banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang tidak dapat
menikmati pendidikan. Berdasarkan data Kementrian Pendidikan Nasional,
jumlah siswa SMP sederajat terdapat sekitar 12 juta siswa yang tidak
bersekolah (Kompas, 09/09/2010).
Jumlah tersebut masih jumlah siswa SMP, belum lagi terdata siswa SD, SMA dan Mahasiswa serta anak-anak yang tidak pernah mengenyam pendidikan samasekali. Tentunya jika kita melihat data jumlahnya maka akan sangat memilukan.
Masalah biaya pendidikan
haruslah kita pandang dengan mata terbuka, tanpa menyembunyikan
realitas yang terjadi. Masih segar dalam ingatan kita baru-baru ini,
ada dua orang calon mahasiswa di negeri ini yang ingin melanjutkan
pendidikannya di Universitas Jember, Jawa Timur. Namun karena tidak
mampu membayar uang kuliah dan biaya uang pendaftaran kuliah mereka,
maka sempat terkendala untuk melanjutkan pendidikannya, meskipun mereka
diterima melalui jalur seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri
(Kompas, 4/08/2010).
Hermawan Bagus asal
Jombang dan Ahmad Ainun Najib asal Banyuwangi adalah nama dari kedua
mahasiswa tersebut. Walaupun mereka akhirnya terdaftar di universitas
Jember setelah mendapat pinjaman dari Pembantu Rektor Universitas
Jember tersebut, yaitu Agus Subekti yang bersimpati kepada keduanya.
(Kompas, 05/08/2010) Namun mereka harus tetap berjuang untuk
mengembalikan uang yang telah mereka gunakan untuk membayar uang kuliah
dan biaya pendaftaran mereka tersebut.
Dengan
tidak menutupi hati nurani dengan kondisi bangsa kita saat ini, pasti
kita akan menemukan berbagai masalah tentang seputar pendidikan,
seperti halnya yang dialami oleh kedua saudara kita di atas yang mana
merupakan sebagian dari berjuta masalah pendidikan yang muncul di
permukaan. Oleh Karena itu, berbicara tentang biaya pendidikan pastinya
tidak akan habis-habisnya dan tidak akan terselesaikan dengan semudah
membalikan telapak tangan. Hal tersebut dikarenakan mengingat masih
banyaknya masyarakat miskin di Negeri tercinta ini yang belum dapat
menikmati pendidikan. Meskipun biaya pendidikan dianggarkan sebesar 20
persen dari APBN dan ditambahkan lagi dari APBD, namun masyarakat
masih harus berjuang dalam mengisi perut sejengkalnya dan untuk
menikmati pendidikan tentunya masih hanya mimpi.
Oleh karena itu, ketika anak dari keluarga miskin hendak bersekolah maka tantangan terberatnya adalah biaya pendidikan. Akan tetapi lain halnya dengan orang kaya, dimana mereka tidak begitu menghiraukan besarnya biaya pendidikan tersebut. Kondisi diskriminasi ini semakin terasa bagi setiap jenjang pendidikan baik pada jenjang SD, SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi.
Berdasarkan Data sensus penduduk nasional tahun 2003-2008, menunjukkan disparitas APK (Angka Partisipasi Kasar) perguruan tinggi antara siswa yang berasal dari keluarga kaya dan miskin sangat tinggi. Lebih lanjut dari data tersebut menguraikan bahwa akses orang termiskin yang duduk di jenjang perguruan tinggi pada tahun 2008 baru mencapai 4,19 persen, sedangkan akses orang terkaya sudah mencapai 32,4 persen. Melihat data tersebut, hak dari orang miskin untuk memperoleh pendidikan semakin terabaikan.
Menurut Darmaningtyas, akses masuk ke bangku kuliah di kalangan mahasiswa miskin menurun drastis memasuki tahun 2000-an. Pasalnya, pada masa itu perguruan tinggi negeri mulai membuka jalur-jalur masuk khusus yang pada kenyataannya lebih mudah diakses siswa kaya. (Kompas, 13/09/2010). Kondisi ini timbul karena perhatian dari pemerintah tidak serius dalam menangani masalah biaya dalam pendidikan ini. Sehingga masalah demi masalah dalam pendidikan semakin bertambah banyak.
Hal di atas diperparah lagi dengan kondisi bangsa ini, dimana berbagai krisis sedang terjadi baik moral maupun ekonomi. Dengan begitu banyaknya permasalahan di negara ini, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka yang miskin tidak akan pernah menikmati pendidikan hingga tutup usia. Itulah gambaran Negara kita.
Egois Penyebab Diskriminasi
Tidak sedikit warga negara Indonesia tercinta ini menumpuk harta kekayaannya tanpa memperdulikan orang lain. Baik dengan cara yang benar maupun mengorbankan milik orang lain (rakyat), seperti tindakan korupsi yang bertumbuh subur akhir - akhir ini, tanpa memperdulikan orang lain. Sikap yang tidak mau memperdulikan orang lain ini, sepertinya semakin membudaya di tengah pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat. Dimana setiap orang sibuk dan dituntut untuk memenuhi kebutuhannya.
Timbulnya sikap yang egois ini mengakibatkan seorang yang kaya akan semakin kaya sedangkan yang miskin semakin miskin bahkan melarat. Kondisi ini menjadikan adanya kesenjangan diantara sesama manusia. Mengingat hakekat manusia sebagai makhluk sosial, maka seharusnya manusia memberikan rasa iba terhadap sesama. Namun realitas berbicara keegoisan manusia semakin memuncak. Adanya sifat keegoisan yang secara berlebihan adalah akibat dari pendominasian lebih dari esensi manusianya sebagai makhluk individual.
Demikian juga halnya dalam pendidikan, dimana orang yang mampu akan memperoleh pendidikan yang lebih baik dibandingkan orang yang hanya untuk memikirkan makan saja sudah sulit atau dengan kata lain orang yang miskin. Sehingga proses panjang dari hal ini akan menghasilkan suatu ungkapan yang tidak memiliki rasa kasihan lagi dari orang yang berpendidikan lebih baik sudah tepat, yaitu"orang bodoh adalah makanan orang pintar".
Ungkapan di atas adalah ungkapan yang penting untuk kita responi saat ini. Dimana dapat kita lihat begitu banyak orang yang pintar di negeri ini, tapi dengan enaknya menggerogoti uang rakyat. Sehingga rasa kepedulian untuk memikirkan rakyat kecilpun semakin menciut. Namun, jika ada perlunya kepada masyarakat maka kepeduliannya melebihi malaikat, misalnya dalam pemilihan dirinya.untuk menjadi calon rakyat.
Keseriusan Pemerintah
Menanggapi berbagai masalah diskriminasi dalam pendidikan yang terjadi di Masyarakat tentunya pemerintah harus lebih serius untuk menyelesaikan masalah tersebut. Karena masalah pendidikan jika tidak segera diselesaikan maka akan melahirkan jutaan penduduk Indonesia yang bodoh. Dan jika kita coba untuk memaknai lebih jauh lagi, maka ketika kita bodoh (Negeri Indonesia ini), kita akan dijajah oleh bangsa lain. Sebab kita sudah jauh tertinggal dengan Negara lain. Ibarat naik pesawat, negara maju sudah sampai ke bulan, tetapi kita masih ingin take off.
Solusi :
Memberikan beasiswa kepada siswa atau mahasiswa yang tepat sasaran merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah diskriminasi dalam pendidikan yang lebih jauh lagi. Artinya pemerintah harus melakukan pengawasan dan pemantaun secara serius, mengingat perilaku korupsi di negara kita sudah menjadi budaya. Karena jika tidak dilakukan hal tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadinya penyelewengan dana yang seharusnya kepada siswa atau mahasiswa malah sebaliknya kepada pihak tertentu yang ingin menyelewengkan dana tersebut.
Semoga diskriminasi dalam pendidikan ini dapat kita atasi secara bersama-sama, terkhusus pemerintah harus memberikan kebijakan yang bersifat pro rakyat dan bukan malah melakuakan pendiskriminasian.
Sumber : http://muhammadsahal-isd.blogspot.com/2010/10/prasangka-diskriminasi-dan.html